Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Saya membaca tulisan ustadz H. Muammal
Hamidy, Lc. dari Bangil Jawa Timur, dalam lembaran dakwah Uswatun Hasanah No.
976 tanggal 21 Jumadal Akhir 1428 H / 6 Juli 2007 M, terbitan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Jakarta yang menguraikan tentang syirik itu ada 6 (enam) macam.
Satu di antaranya adalah Syirkul Asbab, yaitu menyandarkan sesuatu
kepada sebab, bukan kepada kekuasaan Allah SWT.
Dalam keseharian saya selalu mengurai
permasalahan itu dari sebab akibat. Misalnya
orang kecelakaan, saya telusur misalnya karena malam sebelumnya dia tidak tidur
dan habis bekerja. Dari kejadian ini saya mengambil kesimpulan bahwa yang
terkena musibah kecelakaan ini, karena kantuk dan lelah memaksakan diri
mengendarai kendaraan.
Karena saya akan mengambil ibrah (pelajaran) dari sebab akibat kecelakaan, agar dalam bertindak
selalu melihat kondisi badan. Di samping itu Islam juga mengakui adanya hukum
sebab akibat. Oleh karena itu saya mohon penjelasan bagaimana sikap saya dalam
menghadapi uraian dari ustadz H. Muammal Hamidy, Lc. tersebut, agar tidak
terperosok ke dalam syirkul asbab tersebut, serta mohon dijelaskan pengertian dan macam-macamnya
dengan rinci.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Pertanyaan
Dari:
Sujoko,
NBM. 613966
Cabang
Muhammadiyah Ampel Boyolali Jawa Tengah
(disidangkan
pada Jum’at, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami
jelaskan lebih dahulu pengertian syirik dan macam-macamnya sebagaimana saudara
harapkan.
Kata ‘syirik’ (شِرْكٌ ), berasal dari
kata ‘syarika’ (شَرِكَ ) yang
berarti: berserikat, bersekutu, bersama atau berkongsi. Arti lughawi (bahasa) ini mengandung makna bersama-sama antara dua orang atau
lebih dalam satu urusan atau keadaan.
Dalam al-Qur’an, kata syirik dengan berbagai
bentuknya disebutkan 227 kali dengan makna yang berbeda-beda sesuai dengan
konteksnya, antara lain:
a. Persekutuan dalam pemilikan harta, seperti
disebutkan dalam surat an-Nisa’ (4): 12.
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي
الثُّلُثِ ... [النسآء،
4: 12]
Artinya: “Jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, …” [QS. an-Nisa (4): 12]
b. Persekutuan dalam merasakan adzab di akhirat,
seperti disebutkan dalam surat az-Zukhruf (43): 39.
وَلَنْ يَنْفَعَكُمُ الْيَوْمَ إِذْ ظَلَمْتُمْ
أَنَّكُمْ فِي الْعَذَابِ مُشْتَرِكُونَ. [الزخرف،
43: 39]
Artinya: “(Harapanmu itu) sekali-kali
tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya
(dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” [QS. az-Zukhruf (43): 39]
c. Persekutuan dalam kekuasaan atau penciptaan
antara Allah dengan berhala-berhala atau makhluk lain ciptaan Allah, seperti
disebutkan dalam surat Yusuf (12): 106 dan Ali ‘Imran (3): 36.
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلاَّ
وَهُمْ مُشْرِكُونَ. [يوسف، 12: 106]
Artinya: “Dan sebahagian besar dari
mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [QS.
Yusuf (12): 106]
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ
شَيْئًا ... [النسآء، 4: 36]
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun …” [QS. an-Nisa (4): 36]
Macam ketiga inilah yang dimaksudkan dengan
‘syirik’ ini, yaitu menyekutukan Allah dengan selain-Nya yang diharamkan oleh
Allah SWT. Menurut ar-Raghib al-Asfahaniy, syirik
terbagi menjadi dua:
1. Asy-Syirk al-Akbar ( الشِّرْكُ اْلأَكْبَرُ), syirik besar, yaitu syirik dalam bidang keyakinan, yaitu
meyakini adanya Tuhan selain Allah atau menyekutukan Allah dengan makhluk
ciptaannya dalam hal ketuhanan.
2. Asy-Syirk al-Ashgar ( الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ), syirik kecil, yaitu menyekutukan Allah dalam tujuan beribadah
atau beramal kebaikan yang tujuannya untuk memperoleh pujian dari orang lain,
padahal tujuan beribadah dan beramal kebaikan itu seharusnya hanya untuk
mencari keridlaan Allah SWT. (al-Mausu’ah al-Qur’aniyah: 369)
Kedua macam syirik tersebut hukumnya haram,
dan Allah SWT tidak akan mengampuninya kecuali dengan bertaubat sebelum
meninggal, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ
افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا. [النسآء، 4: 48]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [QS. an-Nisa’ (4): 48]
Adapun bentuk syirik, tidak terhitung
banyaknya; misalnya meyakini kekuasaan atau kekuatan ilahiyah (ketuhanan) pada benda-benda yang dianggap keramat seperti pohon
beringin, keris, akik, akar bahar, binatang, kuburan, batu, patung dan
sebagainya. Mengucapkan perkataan لَوْ (seandainya) apabila mengesampingkan takdir (kepastian) Allah,
juga termasuk bentuk syirik. Misalnya seseorang berkata: ‘Seandainya ia tidak
naik pesawat, niscaya ia selamat’, karena berkeyakinan bahwa penyebab tewasnya
adalah naik pesawat yang mengalami kecelakaan. Padahal tewasnya karena sudah
ditakdirkan Allah SWT. Tidak naik pesawat pun, jika sudah ditakdirkan Allah,
pasti akan mati juga. Memberikan penjelasan dengan disertai uraian tentang
sebab akibat adalah sah-sah saja, karena Islam juga mengakui adanya sebab dan
akibat. Namun harus disertai pula dengan penjelasan bahwa semua itu karena
takdir Allah. Mengembalikan peristiwa kepada sebab akibat saja, tanpa dengan
meyakini takdir Allah adalah adat kebiasaan orang-orang munafik. Allah
menegaskan dalam firman-Nya:
...
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا ...[آل عمران (3): 154]
Artinya: “… mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita
barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan
dibunuh (dikalahkan) di sini’ …” [QS. Ali Imran (3): 154]
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا
لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ... [آل عمران، 3: 168]
Artinya: “(Mereka itu adalah)
orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut
pergi berperang: ‘Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak
terbunuh’ …” [QS. Ali Imran (3): 168]
Dalam suatu hadits ditegaskan sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ
بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. [أخرجه
مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: Usahalah dengan keras untuk memperoleh
apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah
kamu lemah semangat. Dan apabila kamu tertimpa musibah janganlah berkata:
seandainya saya melakukan ini dan itu, niscaya menjadi begini dan begitu,
melainkan katakanlah: Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia
kerjakan. Sebab sesungguhnya perkataan ‘lau’ (seandainya) itu membuka
perbuatan syaitan.” [Ditakhrijkan oleh Muslim]
Kedua ayat di atas menegaskan bahwa
terbunuhnya adalah karena takdir Allah SWT, sedangkan hadits Nabi saw melarang
mengatakan ‘lau’ (seandainya), yang maksudnya
hanya memikirkan sebab akibat saja, dan memberi perintah wajib menyerahkan semuanya
kepada Allah SWT, karena sebab dan akibatnya Allah jualah yang menghendaki dan
menciptakannya. Lain halnya jika perkataan ‘lau’ tersebut merupakan ungkapan
penyesalan sebagai bagian dari usaha untuk introspeksi atau mengambil hikmah
dari suatu peristiwa dan tidak mengingkari takdir Allah, maka hal itu
diperbolehkan.
Sungguhpun demikian, manusia dituntunkan
untuk menggapai takdir yang baik dari Allah dengan melakukan usaha atau
ikhtiar. Bahkan manusia wajib berikhtiar dengan semaksimal mungkin, baru kemudian
menyerahkan segala-galanya (bertawakkal) kepada Allah SWT tentang takdir-Nya.
Tidak dibenarkan seseorang pasrah begitu saja tanpa melakukan usaha atau
ikhtiar sama sekali, hanya menunggu takdir Allah datang.
Sebagai contoh, misalnya seseorang yang dalam
keadaan mengantuk berat, sebagai bentuk ikhtiar hendaknya ia tidak mengemudikan
mobil sebelum beristirahat secukupnya. Bagaimanapun juga mengemudi dalam
keadaan mengantuk sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kecelakaan. Setelah
dirasa cukup istirahat dan tidak lagi mengantuk, barulah ia dapat mengemudikan
mobil secara lebih baik dan bertawakkal pada Allah dengan berdoa atau
setidaknya membaca basmalah (Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang). Apabila ternyata tetap terjadi kecelakaan dan ia meninggal
dunia, maka itulah takdir Allah. Di sini, yang perlu difahami adalah orang
tersebut sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan bertawakkal.
Allah SWT berfirman:
... فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ. [آل عمران،
3: 159]
Artinya: “... kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran, 3: 159]
Contoh lain, ketika seseorang menderita
sakit, maka hendaknya ia berikhtiar dengan berobat. Setelah sembuh, apabila ia
mengucapkan ‘saya sembuh karena berobat’, asalkan dengan keyakinan bahwa
berobat tersebut adalah bagian dari ikhtiar dan kesembuhannya adalah takdir
Allah, maka hal itu bukan termasuk syirik dan tidak ada masalah. Apabila
ternyata ia tidak sembuh bahkan kemudian meninggal dunia, sama dengan contoh
sebelumnya, bahwa orang itu sudah memaksimalkan kewajiban berikhtiar dan
bertawakkal.
Kesimpulan
Islam membolehkan menjelaskan sebab dan
akibat, dengan wajib meyakini bahwa semuanya adalah takdir Allah SWT. Takdir
adalah wilayah kekuasaan Allah, manusia tidak akan pernah mengetahui
sebelumnya. Manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan ikhtiar atau usaha yang
maksimal dan tawakkal atau menyerahkan hasilnya (takdirnya) kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab. *sd
Sumber : http://www.fatwatarjih.com/2011/06/syirkul-asbab.html